Blog ini berisi artikel hasil copy paste dari grub whatsup, telegram, facebook, dan lain-lain untuk mengingatkan diri saya sendiri. Semoga Bermanfaat

Agar Ringan Dalam Menghadapi Permasalahan Hidup (Bag.4)

AGAR RINGAN DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN HIDUP (BAG. 4)


Ikhwan dan akhwat rahimani warahimakumullāh.

Mengapa seorang mu'min yang tangguh imannya, selalu tenang, selalu lapang di dalam menghadapi berbagai persoalan hidup?

Yang kedua | Karena, seorang mu'min itu pandai menyikapi keadaan dan tahan banting terhadap segala macam suasana.

√ Baik suasana lapang maupun suasana sempit.
√ Baik dalam keadaan kaya maupun miskin.
√ Baik sebagai pejabat maupun sebagai rakyat jelata.
√ Baik sebagai orang yang tidak dikenal maupun sebagai orang yang terkenal.
√ Baik sebagai orang yang sehat maupun orang yang sakit.
√ Baik sedang menerima nikmat atau sedang ditimpa musibah/bencana/penyakit.

Dalam berbagai keadaan itu seorang mu'min bisa menyikapinya dengan benar. Sehingga semua suasana tetap tidak mempengaruhi kebahagiaan hidupnya, tetap tidak menjadikannya orang yang sengsara.

Karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menegaskan:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ

"Sungguh menakjubkan keadaan seorang mu'min itu, semua keadaannya adalah baik dan itu tidak dimiliki seorangpun selain orang mu'min. Bila dia diberi kesenangan atau kelapangan dia bersyukur dan itu adalah lebih baik baginya, bila dia ditimpa musibah (kesempitan) dia bersabar, dan itu adalah lebih baik bagi dirinya."

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 2999)

⇒ Jadi seorang mu'min itu, senantiasa memiliki kontrol (remote) yang mengatur situasi hatinya, disesuaikan dengan keadaan yang ada diluar dirinya.

Seorang mu'min adalah orang yang pandai bersyukur karena yakin semua itu adalah karunia dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Apalagi disebutkan dalam sebuah hadīts bahwa seorang yang pandai bersyukur yaitu seorang yang ketika makan, dia mensyukuri dengan makanan yang dia makan itu maka dia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang sabar ketika dia berpuasa dengan kelaparannya.

Adapun seorang mu'min sejati apabila mendapat musibah/bencana/penyakit atau hal-hal yang tidak dia kehendaki maka dia bersabar karena yang ada padanya semua merupakan amanah dari Allāh dan dia meyakini ini.

Semua merupakan titipan dari Allāh yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Berbeda keadaannya dengan orang yang tidak beriman. Seorang yang tidak beriman menyikapi musibah,  menyikapi penyakit, menyikapi bencana, akan menjadikan dia melakukan hal-hal yang sifatnya destrukstif (menghancurkan dirinya dan kehidupannya).

√ Ada yang dengan cara meratap.
√ Ada yang dengan cara membentur-benturkan kepalanya ke tembok.
√ Ada yang merobek-robek pakaiannya.
√ Ada yang meraung-raung.
√ Ada yang sampai pingsan.

Ini jelas-jelas sesuatu yang dilarang oleh Nabi  shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kita tidak boleh menghadapi musibah, menghadapi persoalan, menghadapi apapun, seberat apapun yang kita hadapi dari masalah-masalah hidup dengan cara-cara yang tidak dituntunkan oleh Islām, yang menunjukan bahwa kita tidak rela dengan taqdir yang diberikan oleh Allāh kepada kita. Sebab semuanya itu adalah cara-cara Jāhilīyyah. Bahkan secara tegas Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menegaskan;

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة

"Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jāhilīyyah."

(Hadīts riwayatkan Bukhāri no. 1294 dan Muslim no. 103)

Maksudnya, ketika terjadi musibah (misalnya) terjadi kematian, mendapatkan penyakit, bencana dan sebagainya, dia menampar pipinya(wajahnya) atau dia merobek-robek pakaiannya dan menyeru (meraung-raung) dengan seruan-seruan Jāhilīyyah dan ini semuanya bukan merupakan tuntunan Islām.

Bahkan diantara mereka yang tidak kuat menghadapi beban hidup, ada yang sampai pada tingkat bunuh diri, naudzubillāh.

Sebaliknya orang yang tidak beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, bila dia mendapat nikmat maka dia akan bergembira kelewat batas, dia akan lupa daratan bahkan dengan nikmat yang dia terima akan menggiringnya pada kesombongan. Merasa bangga diri bahkan dia merasa bahwa dengan kekayaan itu dia dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Sedangkan orang-orang miskin, menurut orang-orang yang mendapatkan nikmat tetapi dia ini orang yang tidak beriman, orang-orang miskin itu dalam pandangan mereka adalah orang-orang yang dihinakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, naudzubillāh.

Itulah yang disinggung dalam ayat Allāh:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ* وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

"Mereka itu ketika mendapatkan nikmat merasa nikmat itu merupakan bentuk penghargaan, bentuk pemulyaan Allāh terhadap mereka, sebaliknya bila diberi kesempitan rejeki, diberi bencana, musibah, penyakit dia mengatakan dan berpraduga bahwa itu semua adalah bentuk penghinaan Allāh terhadap dirinya."

(QS Al Fajr: 15-16)

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ، وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
__________

Kamis, 24 Shafar 1438 H / 24 November 2016 M
👤 Ustadz Dr. Ainul Haris, Lc. MA
📔 Materi Tematik | Agar Ringan Dalam Menghadapi Permasalahan Hidup (Bag.4)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-Tmk-AH-ARDMPH-04
-----------------------------------
Back To Top