Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr.wb. Saya seorang hamba
Allah di bumi Allah ingin menanyakan kasus berikut: Ada seorang
laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga
hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggung jawab dengan menikahinya
dengan kondisi berikut:
1. Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah
digereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam,
kemudian catatan negara dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan
secara Islam tanpa catatan.
2. Kemudian keduanya setelah itu hidup
berkeluarga dalam keadaan berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki
istilahnya terpojokkan karena sudah menghamili. Sehingga HARUS menikahi
dengan cara tersebut, dengan tetap pada keyakinan masing-masing. Dalam
prosesnya, orangtua (bapak) dari laki-laki itu sudah mengusahakan dengan
semaksimal mungkin untuk menikah dengan cara Islam tanpa syarat, wanita
tersebut harus masuk Islam dulu. Namun
dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian
akhirnya, dengan berbagai pertimbangan orangtua ini menyetujui prosesi
tersebut. Dan untuk proses bertaubat, mau diarahkan untuk kembali ke
jalan yang benar. Laki-laki tadi juga akan menyeru istrinya untuk masuk
Islam. Proses tersebut belum terjadi dan masih menunggu hari H.
Pertanyaan:
1. Bagaimana hukumnya yang sesuai syariat Islam untuk kasus di atas?
2. Bagaimana status anak yang sudah dikandung ini dan apabila terlahir?
3. Bagaimana hukum dari tindakan orang tua dari laki-laki ini?
4. Bagaimana sikap saya (sebagai saudara
sepupu) jika nanti proses itu terjadi? Tentang menghadiri pestanya?
Karena dalam benak saya saat ini, haram untuk menghadiri yang seperti
itu.Mohon penjelasan dengan sangat detail, mengingat saya masih awam.
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu alaikum wr. wb.Hamba Allah di Jawa
Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi (Disidangkan pada hari Jum'at,
20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)
Jawaban:
Wa 'alaikumus-salam wr. wb. Saudara hamba
Allah dari Jawa Tengah yang baik, berikut ini jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan saudara:
1. Hukum nikah beda agama menurut syariat
Islam itu sudah kami terangkan beberapa kali dalam rubrik Tanya Jawab
Agama ini, bahkan telah pula menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22
tahun 1989 di Malang Jawa Timur. Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa
seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim.
Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita
musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya). Dalilnya firman
Allah:
Artinya "Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran."( A\-Baqarah {2]: 221) Yang diperselisihkan para ulama ialah:
Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu
Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada yang mengatakan boleh,
dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 5.
Ada pula yang mengatakan tidak boleh, Namun demikian kami telah
mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan
beberapa alasan, antara lain:
a. Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama
dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi saw. Semua Ahlul Kitab
zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan
mengatakan babwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
b. Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan
mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan utama
dilaksanakannya pernikahan.
c. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan
wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih
banyak dari kaum laki-lakinya.
d. Sebagai upaya syadz-adz-dzari'ah (mencegah
kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suamilistri dan anak-anak yang
akan dilahirkan.Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boieh
menikahi wanita Ahlui Kitab menurut sebagian ulama, sebagaimana kami
katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap
tidak menganjurkan perkawinan tersebut karena syarat wanitaAhlul Kitab
yang disebut dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka
yang membolehkan perkawinan tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat
al-ihshan, yang artinya wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita
baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Perhatikan firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat 5:
Artinya
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga
kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum
kamu. bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum islam) maka hapusfah amalannya dan la di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi."( Al-Maidah [5j: 5) Dan perlu
diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama, karena
menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1
menyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." ini artinya, negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki beragama Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkawinan tersebut
tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan
yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan
Sipil sebagaimana penduduk non muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka disana.Perlu ditekankan di sini, pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa terpojokkan sehingga "HARUS" menikahi wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu bisa saja terjadi karena atas dasar suka sama suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar menikahkan mereka berdua dengan cara Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus dilakukan semaksimal mungkin.
2. Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kamijelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah maka
anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil
perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah. Dan perzinaan itu tidak
menimbulkan dampak menetapan nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang
berzina dengan ibunya), menurut kesepakatan jumhur (mayoritas)
ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan oleh
Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi,
mendidik,menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab
itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu
yang diharamkan. Dalil yang mendasari hal tersebut adalah Hadits
berikut:
Artinya "Rasulullah saw bersabda: "Anak itu
dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi
ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai
mati)"."(al-Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa hanya anak
yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang
mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina
itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina
itu harus mendapatkan hukuman rajam. Pendapat yang menasabkan anak hasil
zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHl)
pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya".
Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut
masuk Islam, maka jika anak tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan dari
pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di
atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan
menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki-laki Muslim
tersebut bertanggungjawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan
anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan
dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang Sah. Namun
jika anak hasil zina tersebut lahir
sebelum enam bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan
kepada ibunya. Dan laki-laki Muslim tersebut tetap bretanggung jawab
terhadap nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak
istrinya. TApi daris egi perwalian dan pewarisan, laki-laki musluim
tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris mewarisi
dengannya. Ini menurut ulama fiqih.
NAmun perlu diketengahkan disini bahwa menurut
KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat
dinasabkan kepada si laki-laki muslim di atas karena anak yang sah
menurut KHI pasal 99 adalah:a Anak dilahirkan dalam atau akibat
perkawonan yang sah.b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim
dan dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan
demikian demi kemaslahatan tersebut.
3. MEngenai tindakan orang tua laki-laki Musli
di atas sebaiknya tetap berusaha untuk menikahkan keduanya secara
Islam, yaitu KUA.
4. MEngenai sikap saudara terutama dalam
menghadiri pesta perkawinan jika proses perkawinan seperti yang
dikehenadaki keluarga katolik itu terjadi, saudara boleh menghadiri bila
diundang.
Wallahu a’alam bi showab.
Wallahu a’alam bi showab.
sumber : http://www.muhammadiyah.or.id/id/14-content-188-det-tanya-jawab-alislam.html